Hukum Pamer Ibadah di Media Sosial

Hukum Pamer Ibadah di Media Sosial
Hukum Pamer Ibadah atau Menunjukkan Amal Kebaikan via Update Status Media Sosial (Facebook/Twitter)
 
TANYA: Banyak orang memamerkan kegiatan ibadahnya di media sosial, terutama Facebook dan Twitter.

Mereka menulis update status tentang amal kebaikan yang dilakukan, seperti shalat, mengaji, puasa, atau ibadah lainnya. Bagaimana hukumnya?

JAWAB: Risalah Islam sudah membahas masalah pamer ibadah di media sosial ini di posting berjudul "Jangan Pamer Amal di Media Sosial".

Memang ada fenomena memprihatinkan, yakni banyak umat Islam yang menulis update status berisi kegiatan ibadah atau amal kebaika, sehingga kesannya mereka pamer amal atau ingin mendapatkan pujian dan dibilang "hebat" oleh orang lain.

Pamer ibadah atau memperlihatkan amal kebaikan di media sosial termasuk perbuatan riya' alias syirik kecil.

Riya' adalah dengan sengaja memperlihatkan atau mempertunjukkan amal kebaikan atau ibadah agar amal tersebut dilihat orang dan mendapat simpati atau pujian orang lain.

Dalam Islam, amal ibadah hanya untuk Allah SWT, tidak usah diperlihatkan kepada orang lain, apalagi di media sosial yang ruang lingkupnya sangat luas.


Pahala kebaikan akan hilang jika dipamerkan (riya').

Berikut ini dalil larangan pamer ibadah kepada orang lain, termasuk menuliskannya sebagai update status di media sosial.

"Katakanlah wahai Muhammad sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kalian adalah tuhan yang Maha Esa. Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan tuhannya maka hendaklah ia megerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya" (QS. Al-Kahfi:110).

"Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian ialah syirik paling kecil. Maka beliau ditanya tentang itu. Beliau berkata: Riya" (HR. Ahmad, Thabrani, Ibnu Abid Dunya dan Baihaqi).

"Bahwa Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian ialah syirik yang paling kecil. Mereka bertanya: Apakah itu syirik yang paling kecil ya Rasulullah? Beliau menjawab: Riya'! Allah berfirman pada hari kiamat, ketika memberikan pahala terhadap manusia sesuai perbuatan-perbuatannya: "Pergilah kamu sekalian kepada orang-orang yang kamu pamerkan perilaku amal kamu di dunia. Maka nantikanlah apakah kamu menerima balasan dari mereka itu." (HR Ahmad).


Pada hadits di atas, jelas sekali, jika kita pamer ibadah (amal kebaikan) di media sosial, maka di akhirat nanti kita akan diperintahkan Allah SWT untuk menemui fans, friends, atau follower yang memberi jempol, komentar, atau share. Karena kita beramal bukan karena Allah SWT semata, tapi disertai riya' alias syirik kecil. Na'udzubullah min dzalik. Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

Menelan Ludah, Membatalkan Puasa?

puasa ramadhan
Hukum Menelan Air Liur (Ludah) Saat Puasa Ramadhan. Apakah Membatalkan Puasa?
 
TANYA: Apakah Menelan Ludah Membatalkan Puasa?

JAWAB: Kalau yang dimaksud menelan ludah (air liur) sendiri, maka tidak membatalkan puasa. Kalau menelan ludah orang lain, jelas membatalkan puasa.

Menurut Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/122), menelan ludah termasuk hal yang tidak bisa dihindari sehingga tidak membatalkan puasa.

"Sesuatu yang tidak mungkin dihindari ketika puasa, seperti menelan ludah, tidak membatalkan puasa. Karena menghindari semacam ini sangat memberatkan. Kasusnya sebagaimana debu jalanan atau tebaran tepung."

"Jika ludah itu telah keluar ke bajunya atau diletakkan diantara jarinya atau berada di antara bibirnya, kemudian kembali dia telan, atau dia menelan ludah orang lain, maka puasanya batal. Karena berarti dia menelan ludah selain dari mulutnya. Sehingga sama dengan ketika dia menelan benda lainnya".

Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah (1/462), juga mengatakan demikian: “Demikian pula, dibolehkan untuk menelan benda-benda yang tidak mungkin bisa dihindari. Seperti menelan ludah, debu-debu jalanan, taburan tepung, atau dedak…”.

Selain menelan ludah, hal-hal lain yang tidak membatalkan puasa a.l.
  1. obat tetes mata atau hidung atau telinga, 
  2. parfum dan wangi-wangian, 
  3. suntikan pengobatan, 
  4. keluar madzi, 
  5. debu atau lalat terbang yang masuk ke tenggorokan dan tertelan, 
  6. obat hirup, 
  7. obat kumur, 
  8. obat pada luka, 
  9. keluar sedikit darah, seperti luka atau pemeriksaan golongan darah, serta 
  10. pembatal-pembatal puasa yang dilakukan tanpa sengaja. 
Demikian status hukum menelan ludah (air liur) dalam kaitannya dengan status puasa Ramadhan.  Wallahu a'lam bish-shawabi. (http://www.risalahislam.com).*

Baca: Panduan Ramadhan

Pemerintah: Awal Puasa Ramadhan Kamis 18 Juni 2015

Awal Puasa Ramadan Kamis 18 Juni 2015
Hasil Sidang Isbat Ramadhan 2015: Pemerintah Tetapkan Awal Puasa Ramadan Kamis 18 Juni 2015

PEMERINTAH melalui Kementerian Agama RI menetapkan 1 Ramadhan 1436 H atau awal puasa jatuh pada hari Kamis 18 Juni 2015.

Keputusan itu diambil setelah melalui sidang isbat Ramadhan 2015 yang melibatkan ulama dan sejumlah organisasi masyarakat (ormas) Islam di Jakarta, Selasa (16/6/2015).

"Berdasarkan sidang isbat, maka satu Ramadhan diputuskan besok lusa, pada hari Kamis 18 Juni 2015," kata Menteri Agama RI Lukman Hakim Syaifudin dalam jumpa pers seperti dikutip Antara.

Dijelaskannya, putusan sidang isbat setelah dilakukan rukyatul hilal di 36 titik di Indonesia yang menyebutkan posisi bulan (hilal) tidak terlihat saat dilakukan pemantauan.

Menurutnya, posisi hilal berada di bawah ufuk dan hilal terbenam sebelum matahari terbenam yang menandakan hilal tidak terlihat saat dilakukan pemantauan di 36 titik di seluruh Indonesia.

"Seluruh sidang isbat menyepakati bahwa hilal tidak ada dan tim rukyat sebanyak 36 orang yang tersebar provinsi dan tak ada satupun hilal yang terlihat," pungkasnya.

Dengan ketetapan ini, seperti diprediksi sebelumnya, umat Islam Indonesia akan serentak melaksanakan ibadah puasa Ramadhan mulai Kamis 18 Juni 2015. Shalat Taraweh mulai Rabu (17/6) malam. Idul Fitri diperkirakan juga sama, yakni Jumat 17 Juli 2015.*

Baca: Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan

Puasa Ramadhan Bisa Sembuhkan Penyakit

Puasa Ramadhan Bisa Sembuhkan Penyakit
Banyak sekali berkah dan hikmah Puasa Ramadan. Salah satunya bisa menyembuhkan tiga penyakit.

PADA diri manusia terdapat tiga penyakit yang merusak. Puasa Ramadhan dapat menyembuhkan ketiga penyakit hati ini.

Pertama "I'jabul mar'i bi nafsihi". Penyakit berupa rasa kagum kepada diri sendiri. Merasa paling hebat, paling pandai, paling ahli, paling bersih, dst.

Kedua, syahhun matho'un. Penyakit kikir, pelit, yang akut. Penyakit ini membuat seseorang tidak punya rasa murah hati kepada orang lain. Benci setengah mati terhadap kemurahan, sederkah, atau derma. Orang-orang miskin yang membutuhkan pertolongan dianggap pengemis dan pemalas semua.

Ketiga, hawa'aun mattaba'un. Hawa nafsu menjadi ikutan. Hawa nafsu dimanjakan. Bukan dikendalikan.Setiap keinginannya dituruti.

Bulan Ramadhan menjadi obat penawar ketiga penyakit hati itu. Puasa menumbuhkan rasa rendah hati (tawadhu') dan koreksi diri sehingga kelemahan dan kekurangan diri nampak jelas.

Puasa juga menumbuhkan sifat pemurah. Sifat dermawan. Suka menolong. Karena Ramadhan disebut "Syahrul Jud", bulan kedermawanan.

Ramadhan disebut juga "Syahrul Muwasah", saat yang tepat untuk gemar dan meningkatkan amal baik berupa suka memberikan pertolongan.

Kebajikan dilipatgandakan ganjarannya menjadi sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat (Hadits Sahih Muslim). Sedekah itu menghapus dosa,ibarat air memadamkan api (Hadis Riwayat Imam Turmudi).

Puasa identik dengan pengendalian hawa nafsu. Puasa merupakan perisai dari perkataan keji, buruk dan kampanye hitam tak berguna (Hadis sahih riwayat Imam Bukhori)

Tapi dengan syarat, puasanya baik dan benar. Tidak hanya sekadar menahan perut lapar dan dahaga, melainkan puasa yang "imanan wahtisaban" (penuh keimanan dan mengharap pahala Allah SWT), sehingga semua anggota badan ikut berpuasa.

Mulut tidak mengeluarkan kata-kata dusta dan provokatif. Mata tidak melihat kemaksiatan dan kerusakan.

Telinga tidak mendengar suara hasutan, fitnah, adu-domba. Tangan tidak melakukan tindakan-tindakan menyakitkan. Hati dan otak bersih dari segala yang rendah dan hina.Malah berhiaskan segala hal yang utama dan terpuji. Murni dari segala sesuatu selain Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

Semoga Ibadah Ramadhan dapat menyembuhkan penyakit hati dalam diri kita sehingga kita menjadi orang yang baik, jujur, dermawan, mampu mengendalikan hawa nafsu, dan diampuni segala dosa. Amin...! Wasalam. (www.risalahislam.com/sumber: Syekh Atha'illah Asy-Syukandari dalam Kitab "Hikam").

>>> Jangan Lewatkan: Panduan Ibadah Ramadhan

Syarat Sah Puasa Ramadhan Menurut Empat Madzhab

Syarat Sah Puasa Ramadhan Menurut Empat Madzhab
Syarat Sah Puasa Ramadhan Menurut Empat Madzhab
SETIAP Muslim berakal, baligh (dewasa), dan sehat wajib puasa selama bulan Ramadhan. Puasa tidak wajib bagi anak kecil, orang gila, orang pingsan, dan orang mabuk.

Muslim yang sakit dan musafir juga tidak wajib puasa, namun mereka wajib mengqadha atau membayar fidyah jika tidak berpuasa.

“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Puasa juga tidak wajib atas orang yang tidak sanggup melakukannya lantaran usianya sudah tua, juga tidak wajib atas wanita yang haid karena –secara hukum syari’at- dia tidak mampu melakukan puasa, juga tidak wajib atas wanita hamil karena –secara fisik- mereka tidak mampu berpuasa.

Syarat Sah Puasa

Dalam buku Fiqih Islam karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili disebutkan tentang syarat sah puasa menurut empat imam madzhab (madzahibul 'arbaah).

Menurut Madzhab Hanafi, syarat sah puasa:
  1. Niat
  2. Kosong dari perkara yang menafikan puasa (haid dan nifas)
  3. Kosong dari perkara yang membatalkannya.
Menurut Madzhab Maliki, syarat sah puasa:
  1. Niat
  2. Suci dari haid dan nifas
  3. Beragama Islam
  4. Waktu yang boleh untuk diisi dengan puasa (puasa tidak sah pada hari Raya Id). 
  5. Berakal.
Menurut Madzhab Syafi`i, ada empat syarat sah puasa:
  1. Beragama Islam
  2. Berakal
  3. Suci dari haid dan nifas pada keseluruhan siang. 
  4. Niat
Madzhab Hambali menetapkan tiga syarat:
  1. Beragama Islam
  2. Niat
  3. Suci dari haid dan nifas.
Syarat sah di atas adalah dalam perspektif fiqih. Artinya, jika memenuhi syarat-syarat tersebut, maka puasa seorang Muslim/Muslimah sudah dan gugur kewajiban.

Syarat Sah Pahala Puasa

Syarat Sah Puasa dalam perspektif tasawuf lain lagi. Selain harus memenuhi syarat sah secara fiqih di atas, puasa juga harus memenuhi syarat a.l. tidak berkata dusta dan tidak berkata kotor, keji, dan cabul.

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy).

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari)

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”. (HR. Ibnu Majah dan Hakim). (Kitab Fathul Bari).

Demikian Syarat Sah Puasa Ramadhan Menurut Empat Madzhab, termasuk syarat sah pahala alias hal yang harus dijauhi agar pahala puasanya tidak hangus.

Semoga Allah SWT memberi kekuatan kepada kita untuk bisa memenuhi syarat-syarat sah puasa dan menjauhi hal yang membatalkannya baik secara fiqih maupun tasawuf. Amin...! (www.risalahislam.com).*

Kunjungi: Panduan Ibadah Ramadhan

Kontroversi Panggilan Ummi & Abi pada Istri & Suami

keluarga muslim abi umi
BELAKANGAN ini di media sosial marak perbincangan tentang hukum memanggil "Ummi" kepada itri dan panggilan "Abi" kepada suami, antara boleh, makruh, dan haram.

Panggilan Ummi & Abi pada Istri & Suami pun menjadi masalah "khilafiyah" (perbedaan pendapat di kalangan ulama).

Di sisi lain, panggilan Abi dna Umi banuak dilakukan keluarga Muslim. Istri dan anak-anak memanggil Abi kepada kepala rumah tangga (suami/ayah). Suami memanggil Umi kepada istri. Demikian pula panggilan anak-anak kepada ibunya.

Versi 1: Panggilan Abi & Umi Makruh
Sumber wacana ini adalah pernyataan dalam kitab Ar-Raudhatul Murbi’ Syarah Zadul Mustaqni’:

ويكره نداء أحد الزوجين الآخر بما يختص بذي رحم محرم كأبي وأمي

"Dan dibenci (makruh) memanggil salah satu di antara suami atau istri dengan panggilan khusus yang ada hubungannya dengan mahram, seperti istri memanggil suaminya dengan panggilan ‘Abi’ (Ayahku) dan suami memanggil istrinya dengan panggilan ‘Ummi’ (Ibuku).”
Berikut ini adalah, fatwa Syeikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin tentang masalah di atas, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi penulis dan pembacanya:

Versi 2: Panggilan Abi & Umi Mubah (Boleh)
Pendapat kedua menyebutkan bolehnya memanggil Abi dan Umi sebagaimana disebutkan dalam Fatawa Nurun Alad Darb: 
السؤال: هل يجوز للرجل أن يقول لزوجته يا أختي بقصد المحبة فقط , أو يا أمي بقصد المحبة فقط

فأجاب: نعم , يجوز له أن يقول لها يا أختي, أو يا أمي, وما أشبه ذلك من الكلمات التي توجب المودة والمحبة, وإن كان بعض أهل العلم كره أن يخاطب الرجل زوجته بمثل هذه العبارات, ولكن لا وجه للكراهة, وذلك لأن الأعمال بالنيات, وهذا الرجل لم ينو بهذه الكلمات أنها أخته بالتحريم والمحرمية, وإنما أراد أن يتودد إليها ويتحبب إليها, وكل شيء يكون سبباً للمودة بين الزوجين, سواء كان من الزوج أو الزوجة فإنه أمر مطلوب

Pertanyaan: Bolehkan suami memanggil isterinya “Ya Ukhti” (wahai saudariku) atau “Ya Ummi” (wahai ibuku) karena dorongan kecintaan saja?.

Jawaban: Ya, dibolehkan bagi suami untuk memanggil isterinya dg panggilan “Ya Ukhti”, atau “Ya Ummi“, atau panggilan-panggilan lain yang dapat mendatangkan rasa sayang dan cinta.
Setiap amalan itu tergantung niatnya. Insya Allah, suami di keluarga Muslim tidak bermaksud melakukan zhihar (menyamakan istri dengan ibu) ketika memanggil istri tercinta dengan panggilan "Ummi", tapi lebih untuk memuliakan dan menunjukkan kasing sayang.

"Setiap sesuatu yang mendatangkan rasa sayang antara dua mempelai, baik dilakukan oleh suami maupun istri, maka hal itu adalah sesuatu yang dianjurkan. (Fatawa Nurun Alad Darb - Fatawa Sual wa Jawab).

Dalam kitab Syarhul Mumti’ ditegaskan:

فإذا قال: يا أمي تعالي، أصلحي الغداء فليس بظهار، لكن ذكر الفقهاء -رحمهم الله- أنه يكره للرجل أن ينادي زوجته باسم محارمه، فلا يقول: يا أختي، يا أمي، يا بنتي، وما أشبه ذلك، وقولهم ليس بصواب؛ لأن المعنى معلوم أنه أراد الكرامة، فهذا ليس فيه شيء، بل هذا من العبارات التي توجب المودة والمحبة والألفة.

"Jika seorang suami mengatakan kepada isterinya: “ya Ummi! Kemarilah, siapkan makan siang”, ini bukanlah “zhihar“. Namun para ahli fikih –rohimahumulloh– menyebutkan bahwa: di-makruh-kan bagi seorang suami memanggil isterinya dg sebutan mahrom-mahromnya, sehingga tidak boleh baginya memanggil istrinya: “ya Ukhti”, “ya Ummi“, “ya Binti”, dan yang semisalnya. Perkataan mereka ini tidaklah benar, karena makna dari panggilan itu sudah maklum, bahwa si suami bermaksud memuliakan istrinya, maka ini tidaklah mengapa, bahkan panggilan-panggilan seperti ini dapat mendatangkan rasa sayang, cinta, dan keakaraban. (Syarhul Mumti’).

Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni mengatakan:

"Apabila seseorang mengatakan : Kamu bagai ummi atau seperti ummi dan jika ia meniatkan zihar maka terjadi zihar, maka ia adalah zihar, menurut pendapat kebanyakan ulama. Sedangkan jika dia meniatkan sebuah kemuliaan dan penghargaan, maka ia bukanlah zihar walaupun seseorang mengatakan: kamu ummi atau istriku ummi.”

Teladan Rasulullah Saw dalam Memanggil Istri
Bagaimana Rasulullah Muhammad Saw memanggil istrinya?  Dari berbagai hadits, beliau biasa memanggil istri-istrinya dengan panggilan kesukaan dan panggilan yang indah.

Rasulullah biasa memanggil istri tercintanya, Siti ‘Aisyah r.a., dengan panggilan “Ya Humaira” (Wahai si merah jambu/Wahai yang pipinya kemerah-merahan). Menurut riwayat shahih, panggilan itu diberikan karena warna kulit pipi (wajah) Siti Aisyah yang putih kemerah-merahan.


Kesimpulan
Panggilan Ummi pada Istri & Abi pada Suami, selain untuk kasih sayang dan kehangatan rumah tangga, biasanya dilakukan keluarga Muslim untuk memberikan contoh kepada anak-anak tentang cara memanggil ayah dan ibu mereka, sebagaimana panggilan Papa & Mama --panggilan yang "aman" dari kontroversi karena tidak ada penambahan makna "ku" seperti dalam Abi (Ayahku) dan Umi (Ibuku). Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com, dari berbagai sumber).*

Ibnu Khaldun, Ulama & Cendekiawan Muslim Multigelar


Ibnu Khaldun, Ulama & Cendekiawan Muslim Multigelar
Berfondasi ilmu Al-Quran, Ibnu Khaldun menguasai dan merintis berbagai disiplin ilmu. Sederet gelar pun disandangnya: sejarahwan, bapak sosiologi Islam, ahli politik Islam, bapak ekonomi Islam, atau peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. 

NAMA Ibnu Khaldun tiba-tiba menjadi "trending" di media, setelah pendiri & pemilik Facebook, Mark Zuckerberg, mengaku tengah membaca sebuah buku tentang sejarah Islam karya Ibnu Khaldun.

Melalui akun Facebooknya, Mark Zuckerberg antara lain menulis: "Buku saya berikutnya yang akan segera saya baca untuk menyambut Tahun Buku adalah Muqaddimah. Buku ini ditulis oleh Ibnu Khaldun, seorang sejarawan Muslim yang sangat terkenal."

Muqaddimah (Pendahuluan) adalah buku terpopuler karya Ibnu Khaldun yang ditulisnya tahun 1377. Buku Muqaddimah adalah pendahuluan kitab Al-’Ibar yang bercorak sosiologis-historis dan filosofis.

Ibnu Khaldun adalah salah seorang cendekiawan Muslim yang berjasa membangun peradaban dunia dengan sinar Islam. Keluasan ilmunya membuat ia dijuluki banyak gelar, seperti sejarahwan, bapak sosiologi Islam, ahli politik Islam, juga dikenal sebagai bapak ekonomi Islam.

Bahkan karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan, Ibnu Khaldun dipandang sebagai ”peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam”.

Pemikiran dan Karya-Karya Ibnu Khaldun

Bernama lengkap Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami, sosok yang lebih dikenal sebagai sejarahwan Muslim ini lahir dan wafat pada bulan Ramadhan. Ia lahir di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H/27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo Mesir tanggal 25 Ramadan 808 H/19 Maret 1406 M.

Pemikiran Ibnu Khaldun mampu memengaruhi cendekiawan-cendekiawan Barat dan Timur, baik Muslim maupun non-Muslim. Pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis, misalnya, dikemukakannya jauh sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya.

Selain itu, istilah ”sosiologi”, walaupun diciptakan tokoh Prancis abad ke-19, Aguste Comte, namun kajian mengenai kehidupan sosial manusia sudah dibahas 500 tahun lebih awal pada usia 36 tahun. Itulah sebabnya Ibnu Khaldun pun dijuluki "Bapak Sosiologi Islam".

Salah satu karya tulis Ibnu Khaldun, Al-’Ibar (Al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ awil Khabar fi Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar) pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane tahun 1863, dengan judul Les Prolegomenes d’Ibn Khaldoun.

Tahun 1890, pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan diadaptasi oleh sosiolog-sosiolog Jerman dan Austria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern.

Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi di antaranya At-Ta’riif bi Ibn Khaldun, Lubab Al-Muhassal fi Ushul Ad-Diin yang berisi kajian tentang permasalahan teologis, dan Muqaddimah (pendahuluan kitab Al-’Ibar yang bercorak sosiologis-historis dan filosofis).

Muqaddimah dinilai merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini.

Dalam buku yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa ini, Ibnu Khaldun menganalisis apa yang disebut dengan ”gejala-gejala sosial”, membedakan antara masyarakat primitif dengan masyarakat moderen, dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan politik di masyarakat.

Dibahas pula tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia, pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis, ekonomi dalam individu, bermasyarakat, maupun negara, juga berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya.

Menurut Ibnu Khaldun, pada dasarnya negera-negara berdiri bergantung pada generasi pertama (pendiri negara). Disusul oleh generasi kedua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama.

Setelah itu, menurut Ibnu Khaldun, akan datang generasi ketiga yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi, sehingga sedikit demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya.

Keturunan Sahabat  

Ibnu Khaldun tercatat sebagai keturunan sahabat Rasulullah Saw bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah ini hafal Al-Quran sejak usia dini.

Nenek moyang Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut, Yaman, yang berimigrasi ke Sevilla, Andalusia (Spanyol). Namun keluarganya akhirnya meninggalkan Sevilla menunju Melilia, Maroko, lalu menuju ke Tunisia.

Ibnu Khaldun berasal dari keluarga cendekiawan yang tak begitu tertarik dengan persoalan politik. Sejumlah bidang menjadi bagian penting dalam proses pendidikannya. Di antaranya adalah Al-Quran, tata bahasa, hukum, hadis, retorika, filologi, matematika, filsafat, dan astronomi.

Tiga Periode Kehidupan Ibnu Khaldun

Secara garis besar, kehidupan Ibnu Khaldun dapat dibagi dalam tiga periode.

1. Periode Pertama
Masa Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan –Al-Quran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika, dan matematika.

Ayahnya sendiri, Muhammad, yang memberikan pengajaran pertama kepada Ibnu Khaldun. Selanjutnya, ia menimba ilmu dari banyak cendekiawan yang ada di Tunis. Apalagi saat itu, Tunis seakan menjadi pusat cendekiawan Muslim dari Andalusia. Dasar pendidikan Alquran yang diterapkan oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam dan giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman.

Sebagai hafidz (orang yang hapal Al-Quran), ia menjunjung tinggi Al-Quran. Sebagaimana dikatakan olehnya:

“Ketahuilah bahwa pendidikan Alquran termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan Alquran dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Alquran pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain.” 

2. Periode Kedua
Ibnu Khaldun terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti sekretaris Sultan, perdana menteri, duta besar, dan Qadhi Al-Qudhat (Hakim Tertinggi).

Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat dijebloskan ke dalam penjarah, hingga memutuskan untuk menjauhi politik dan tinggal di Qal'at, Aljazair.

3. Periode Ketiga
Ibnu menjauhi politik dan tinggal di Qal'at, Aljazair. Di sinilah ia memulai periode ketiga kehidupannya sebagai peneliti dan penulis.

Sempat kembali ke tanah kelahiran, Tunisia, akhirnya ia memilih Mesir sebagai tempat terakhir pengembaraannya.

Di Kairo Mesir, Ibnu Khaldun mendapatkan sambutan luar biasa dari para ulama. Ia membentuk sebuah halaqah di Al-Azhar bahkan menjadi guru besar di Universitas Al-Azhar. Ia pun dianugerahi gelar ”Waliuddin” oleh Sultan Mesir ketika itu, Burquq.

Demikianlah sosok Ibnu Khaldun, Ulama & Cendekiawan Muslim Multigelar, yang wajib kita teladani kebaikan dan sumbangsihnya terhadap Islam dan kaum Muslim. Wasalam. (www.risalahislam.com, diolah dari berbagai sumber).*