Sikap Dasar Seorang Muslim Itu 'Kami Dengar dan Kami Patuh'

Sikap Dasar Seorang Muslim Itu 'Kami Dengar dan Kami Patuh'
"Islam tidak akan dapat ditegakkan kecuali dengan menggalakkan ketaatan kepada Allah SWT"

SIKAP Dasar Seorang Muslim Itu 'Kami Dengar dan Kami Patuh' (Sami'na wa Atho'na) atas perintah dan larangan Allah SWT.

Sikap siap melaksanakan perintah dan menjauhi larangan tersebut merupakan wujud nyata keimanan dan kepatuhan pada ajaran Islam.

Sikap dasar ini menjadi sumber utama kebahagiaan dan kemenangan. Mau mendengar dan patuh dilandasi keyakinan bahwa Allah SWT Mahabenar dan tidak mungkin salah. Dia selalu memberikan yang terbaik bagi umat-Nya dan melaksanakan ajaran-Nya merupakan jalan hidup terbaik.

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Siapa saja yang taat kepada Allah dan rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (QS An-Nur [24]: 51-52).

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ


"Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “kami dengar dan kami taat" (QS Al-Baqarah: 285).

Namun, karena masih lemahnya iman, ditambah hawa nafsu dan bujukan setan, termasuk kecintaan pada hal duniawi yang berlebihan, seseorang yang mengaku Muslim atau mukmin sering mengabaikan aturan Allah SWT dan lebih memilih aturan yang lain, misalnya "alasan budaya atau adat", sebagaimana firman-Nya:

“Mereka menjawab, “Sama saja bagi kami, apakah engkau memberi nasihat atau tidak memberi nasihat, (agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang terdahulu dan kami tdk akan diadzab” (Q.S: asy-Syuara: 136-138).

Seorang Muslim yang sudah tahu, paham, atau mendengar aturan Allah SWT, namun tidak menaatinya, maka sikap itu seperti jawaban Bani Israil (Yahudi): "kami dengar namun kami tidak menaatinya (sami’na wa ashoina)

"Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab: “Kami mendengar tetapi tidak menaati”. (QS. Al-Baqarah: 93).

Jawaban orang munafik --mengaku beriman padahal tidak-- pun demikian. Mereka berkata "kami dengar namun pura-pura tidak mendengar" (sami’na wa hum laa yasma’uun).

"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling dari-Nya, sedang kamu mendengar. Dan janganlah kamu seperti orang-orang munafik yang berkata: “kami dengar" padahal mereka tidak mendengarkan (tidak mematuhi)” (QS Al-Anfaal: 20-21).

Jadi, orang munafik itu, ketika mereka mengatakan, “kami mendengar”, sebenarnya hati mereka menolak dan mereka tidak mendengarkan (tidak taat).

Berbeda dengan kaum kafir dan kaum munafik, orang yang benar-benar beriman atau muslim sejati, akan mendengar dan menaati perintah dan larangan Allah SWT.

Dalam Tafsir Al-Jalalayn tentang QS. An-Nur:51 disebutkan:

"(Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka) maka jawaban yang pantas mereka katakan (ialah ucapan, "Kami mendengar dan Kami patuh") yakni mengiakan secara spontan. (Dan mereka) sejak saat itu (adalah orang-orang yang beruntung) artinya orang-orang yang selamat di dunia dan akhirat."

Dalam Tafsir Al-Azhar disebutkan, Pada ayat 51 dijelaskan perbedaan jiwa yang demikian dengan jiwa orang yang beriman. Adapun orang yang beriman kepada Allah dan Rasul , apabila sekali saja datang kepadanya ajakan supaya segera dijalankan sepanjang hukum Allah dan Rasul , maka dengan sikap yang tegak dan tangkas mereka menjawab: "Kami dengar perintah itu dan kami patuhi.”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan,  Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Abu Darda pernah berkata, "Islam tidak akan dapat ditegakkan kecuali dengan menggalakkan ketaatan kepada Allah. Dan tiada kebaikan kecuali dalam jamaah dan berikhlas diri kepada Allah dan Rasul-Nya, serta bernasihat kepada khalifah dan kaum mukmin seluruhnya."
 
 Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan, "Tali Islam ialah menyatakan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan (yang wajib disembah) selain Allah, mengerjakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada orang yang dipercaya oleh Allah untuk memerintah urusan kaum muslim." Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
 
Semoga kita termasuk mukmin/muslim yang bersikap dasar "kami dengar dan kami patuh" (sami'na wa atho'na) sehingga meraih ketenangan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Amin...! Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*
 

Rasulullah Saw Ingatkan Kaum Muslim yang Menolak Surga

Rasulullah Saw Ingatkan Kaum Muslim yang Menolak Surga
RASULULLAH Muhammad Saw menyebutkan ada umat Islam yang menolak surga. Dalam Islam, surga adalah "simbol" kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Rasulullah Saw menegaskan, semua umat Islam masuk surga, kecuali yang menolaknya. Dalam sebuah hadits shahih, sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Rasulullah Saw menyampaikan kepada sahabat: “Semua umatku masuk surga kecuali orang yang menolaknya".

Mendengar sabda beliau, para sahabat bertanya, “Siapa orang yang menolak itu, ya Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Orang yang menentang (perintah dan laranganku) adalah orang yang menolak masuk surga” (HR Bukhari).

Rasulullah Saw juga mengatakan, siksaan neraka itu sangat pedih. Yang paling ringan dari siksaan neraka adalah orang yang memakai alas kaki yang terbuat dari neraka yang panasnya akan membuat otak mendidih

"Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksanya adalah seseorang memiliki dua sandal dan dua tali sandal dari api neraka, seketika otaknya mendidih karena panasnya sandal tersebut sebagaimana kuali mendidih. Orang tersebut merasa bahwa tak ada seorang pun yang siksanya lebih pedih daripadanya, padahal siksanya adalah yang paling ringan diantara mereka” (HR Muslim).

Semoga kita tidak termasuk orang yang menolak surga Allah SWT. Amin....! (www.risalahislam.com).*

Islam Itu Mudah dan Memudahkan

Islam Itu Mudah dan Memudahkan
ISLAM itu mudah dan memudahkan, tidak sulit dan tidak meyulitkan.

Umat Islam saja yang kadang menambah-nambah atau mengubah ajaran Islam sehingga menjadi terasa sulit dan menyulitkan.

Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia.  Artinya, seluruh ajarannya sesuai dengan kemampuan umat manusia untuk menjalankannya.

Hanya hawa nafsu dan kuatnya godaan setan yang membuat manusia atau umat Islam mengabaikan ajaran Islam. Ketidakmengertian juga bisa menjadi sumber atau faktor tidak diamalkannya ajaran Islam.

Seluruh ajaran Islam sudah terbukti dapat dilaksanakan oleh manusia, sebagaimana diamalkan dengan baik oleh Rasulullah Muhammad Saw, para sahahat, tabi’in, salafus saleh, dan orang-orang saleh hingga kini.

Pada da’i atau ulama pun hendaknya menunjukkan kemudahan itu, bukan malah menjadikan ajaran Islam terasa sulit diamalkan. Proses, tahapan, dan prioritas amal dalam Islam harus disosialisaikan (didakwahkan) kepada umat.

Islam hadir bukan untuk membuat susah manusia, jutsru mempermudah hidup dan kehidupannya.

“Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. 2:185).

“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan” (HR. Muslim).

"Sesungguhnya Allah suka kalau keringanan-keringanan-Nya dimanfaatkan, sebagaimana Dia benci kalau kemaksiatan terhadap perintah-perintahNya dilakukan" (HR. Ahmad, dari Ibn ‘Umar ra.).

Sebagaimana layaknya "petunjuk jalan", Islam memudahkan manusia untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika manusia merasa susah dalam hidupnya, bisa dipastikan, karena ia tidak mematuhi petunjuk Islam. Yang menjadikan Islam terasa berat dan susah adalah diri kita sendiri, lebih tegasnya hawa nafsu kita.

Dalam sejumlah firman-Nya, Allah Swt menegaskan, Islam tidak dimaksudkan untuk menyusahkan atau memberatkan manusia.

"Dan sesungguhnya Kami memudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah yang mengambil pelajaran?” (QS. 54:17).

"Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepada kamu supaya kamu menjadi susah" (QS. 20:2).

“Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. 2:185)

Ayat-ayat di atas dengan jelas mengatakan, kesusahan, kepayahan, kesukaran, dan kesengsaraan bukanlah konsep yang dianjurkan Islam (Al-Quran). Islam adalah untuk kemudahan dan kebahagiaan manusia.

“Dan siapa yang berbuat kebaikan, lelaki atau perempuan dan dia mukmin, sungguh Kami akan menghidupkan dia dengan kehidupan yang baik” (QS. 16:97)

Dalam prinsip Islam, semua perintah, tanggungjawab, dan beban adalah dibuat dan dilaksanakan sesuai dengan kemampuan manusia. Allah Swt tidak akan membebani hamba-Nya melainkan disesuaikan dengan kemampuan manusia.

“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...” (QS. Al-Baqarah:286).

Imam Ibn Qayyim menyatakan, “Hakikat ajaran Islam semuanya mengandung rahmah dan hikmah. Kalau ada yang keluar dari makna rahmah menjadi kekerasan atau keluar dari makna hikmah menjadi kesia-siaan, berarti itu bukan termasuk ajaran Islam. Kalaupun dimasukkan oleh sebagian orang, maka itu adalah kesalahkaprahan.”
Dalam sebuah hadits Qudsi Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya Allah suka kalau keringanan-keringanan-Nya dimanfaatkan, sebagaimana Dia benci kalau kemaksiatan terhadap perintah-perintahNya dilakukan” (HR. Ahmad, dari Ibn ‘Umar ra.).

Dalam sebuah perjalanan jauh, Rasulullah Saw pernah melihat seorang sahabat tampak lesu, lemah, dan terlihat berat. Beliau langsung bertanya apa sebabnya. Para sahabat yang lain menjawab bahwa orang itu sedang berpuasa. Maka Rasulullah Saw langsung menegaskan:

“Bukanlah termasuk kebajikan untuk berpuasa di dalam perjalanan (yang jauh)” (HR. Ibn Hibbân, dari Jâbir bin ‘AbdilLâh ra.)

Islam tidak mendukung praktek beragama yang menyulitkan. Disebutkan dalam sebuah riwayat, ketika sedang menjalankan ibadah haji, Rasulullah Saw memperhatikan ada sahabat yang terlihat sangat capek, lemah, dan menderita. Maka beliau pun bertanya apa sebabnya.

Ternyata, menurut cerita para sahabat yang lain, orang tersebut bernadzar akan naik haji dengan berjalan kaki dari Madinah ke Mekkah. Maka Rasulullah Saw langsung memberitahukan:

“Sesunguhnya Allah tidak membutuhkan tindakan penyiksaan diri sendiri, seperti yang dilakukan oleh orang itu” (HR. Bukhâri dan Muslim, dari Anas ra.).

Demikianlah, Islam sebagai agama yang rahmatan lil’ ‘alamin secara kuat mencerminkan aspek hikmah dan kemudahan dalam ajaran-ajarannya. Kita sebagai kaum muslimin, telah dipilih oleh Allah Swt untuk menikmati kemudahan-kemudahan tersebut.

Diceritakan oleh ‘Aisyah ra. bahwa Rasulullah Saw dalam kesehariaannya, ketika harus menentukan antara dua hal, beliau selalu memilih salah satunya yang lebih mudah, selama tidak termasuk dalam dosa (HR. Bukhâri dan Muslim).

Dalam hal shalat, misalnya, Islam memberikan keringanan dengan konsep jama' dan qoshor bagi musafir atau bagi perantau. Demikian juga dalam situasi darurat, Islam membenarkan shalat dilakukan dalam berbagai cara: berdiri, duduk, bahkan berbaring.  

Syekh Yusuf Al-Qaradhawi membahas "ekstremitas dalam Islam". Disebutkan, ada kalangan umat Islam yang menjalankan agama secara ektrem, misalnya hal yang sunnah menjadi terkesan wajib dan dan wajib justru diabaikan, soal cabang (furu') seolah merupakan hal pokok (ushul), dan sebagainya. 

Umat Islam adalah umat pertengahan atau moderat (ummatan wasathan). Karena itu, tidak ada tempat bagi “ekstremisme” dalam pemikiran dan perilaku umat Islam.

Demikian dikemukakan Al-Qaradhawi dalam bukunya, Al-Shohwah Al-Islamiyah Bain Al-Juhud Wa Al-Tatharruf (Al Ummah, Qatar 1402 H) yang diterjemahkan menjadi Islam Ekstrem, Analisis dan Pemecahannya (1992).

Menurut Al-Qaradhawi, tatharruf diniy (ekstremitas agama) adalah suatu sikap yang melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam agama. Di antara konsekuensinya adalah lebih dekat kepada kebinasaan dan bahaya.

Dikemukakan Al-Qaradhawi, nash-nash Islam selalu menyeru kepada i’tidal (sikap moderat) dan melarang sikap berlebih-lebihan yang diistilahkan dengan ghuluw (kelewat batas), tanathu’ (sok pintar), serta tasydid (mempersulit).

Rasulullah Saw bersabda, “Hindarkanlah darimu sikap melampaui batas dalam agama karena sesungguhnya orang-orang sebeluim kamu telah binasa karenanya.”

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu memperberat dirimu, nanti Allah memperberat atas kamu. Suatu kaum telah memberati diri mereka sendiri sehingga Allah memperberat atas mereka. Lihatlah sisa-sisa hal itu seperti dalam cara hidup para pendeta kaum nasrani. “

Rasulullah Saw sendiri dalam praktek sehari-hari cenderung mempermudah umatnya. Beliau selalu meringankan shalat apabila beliau menjadi imam dalam shalat berjamaah.

Tanda-Tanda Ekstremitas dalam Beragama
Menurut Qardhawi, sikap ekstrem dalam beragama memiliki tanda-tanda:
  • Fanatik pada satu pendapat dan tidak mengakui pendapat lain. Inilah tanda yang paling mencolok dari sikap ekstrem.
  • Mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah SWT.
  • Memperberat yang tidak pada tempatnya. Misalnya dengan memperkarakan sesuatu yang “berat” kepada orang yang baru masuk Islam.
  • Sikap kasar dan keras. Dalam Al-Qur’an hanya ada dua tempat untuk bersikap keras, yakni (1) di medan perang, “Perangilah orang-orang kafir sekelilingmu dan hendaklah mereka menemui kekerasanmu” (QS. 9:123) dan (2) dalam melaksanakan hukuman, “Janganlah kamu berbelas kasihan kepada keduanya (orang yang didera) sehingga mencegah kamu melaksanakan agama Allah…” (QS. 24 :2). Sementara dalam da’wah tidak ada tempat untuk sikap kasar dan keras.
  • Buruk sangka terhadap manusia. “Wahai orang-orang yang beriman, hindarilah olehmu dari kebanyakan prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa” (QS. 49 :12)
  • Terjerumus kedalam jurang pengkafiran. Ini puncak ekstremitas karena menggugurkan hak kehormatan orang lain dan menghalalkan jiwa dan harta mereka.*

Demikian kajian kita kali ini tentang Islam Itu Mudah dan Memudahkan. Wallahu a’lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

Ingatlah Allah SWT Saat Senang dan Susah

Ingatlah Allah SWT Saat Senang dan Susah
KITA biasanya mengingat Allah SWT saat dilanda kesulitan kesusahan, dan berdoa kepada-Nya. Namun sebaliknya, saat senang, kita kadang lupa kepada-Nya, sebagaimana "sindiran" Allah SWT dalam Al-Quran:

"Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas..." (QS. Yunus [10] : 12).

Risalah Islam mengajarkan, kita harus senantiasa mengingat Allah SWT dalam semua keadaan, baik saat susah maupun senang.

Jika ketika senang kita mengingat Allah, maka Allah "otomatis" akan mengingat kita (menolong kita) saat dalam kesulitan.

“Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (QS. Al Baqarah [2]:152).

"Ingatlah Allah ketika senang, maka Allah akan mengingat engkau ketika sulit.” (HR. Hakim).

"Ingatlah Allah di waktu engkau dalam keadaan senang, niscaya Dia (Allah) akan mengingatmu di waktu engkau mengalami kesusahan. Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya hal-hal yang luput darimu tidaklah ditakdirkan untukmu, dan hal-hal yang mengenaimu tidaklah ditakdirkan untuk luput darimu. Sesungguhnya pertolongan itu datangnya beserta kesabaran, dan jalan keluar itu datangnya bersama dengan musibah; serta sesungguhnya kesulitan itu pasti dibarengi dengan kemudahan." (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Ingat kepada Allah SWT dikenal dengan istilah dzikir atau zikir. Secara harfiyah, dzikir artinya ingat atau mengingat.

Tempat dzikir itu dalam hati. Bisa jadi lisan melafadzkan dzikir, namun hatinya tidak. Atau sebaliknya, bisa jadi lisannya tidak menunjukkan seseorang sedang berdzikir, padahal Allah SWT senantiasa hadir dalam hatinya.

Dengan senantiasa ingat Allah SWT (dzikrullah), bukan saja kita akan kian dekat dengan-Nya, tapi juga akan kian taat dan ingat perintah dan larangan-Nya.

Semoga kita diberi kekuatan untuk senantiasa mengingat Allah SWT dalam keadaan senang ataupun susah. Amin...! Wallahu a'lam bis-shawabi. (www.risalahislam.com).*